Saturday, July 22, 2017

Roti mini vegetarian

500gr terigu
100gr gula
75gr mentega
1 butir telur
1bks fermipan
200cc air
I kuning telur untuk olesan
Isi:
Buncis 
Mentega untuk tumis
Bumbu penyedap (me:msko)
Gula pasir
Maizena

Thursday, July 6, 2017

Menjadi…


Tugasku pada saat ini adalah sedang tidak bertugas apa-apa, ya…aku sedang tidak harus melakukan apa-apa. Ini adalah keadaan yang kuterjermahkan sebagai tugasku saat ini, setelah sekian lama waktuku tersita “hanya” untuk melakukan banyak hal yang tumpang tindih dalam waktu bersamaan yang terkemas sebagai tugasku dalam pekerjaan, yang membuatku merasa kehilangan waktuku sendiri, kini…Inilah waktuku, inilah kemerdekaan jiwaku. Tapi dalam kemerdekaan yang selama ini kudambakan  terkadang aku tidak tahu apa yang sesungguhnya  harus kulakukan, mungkin diriku sudah terlanjur terbentuk oleh image dan kebiasaan untuk selalu melakukan tugas-tugas, sehingga ketika aku tidak harus melakukan sesuatu aku menjadi terpana dan berkata tanpa kata-kata…rupanya inilah tugasku sekarang.

PART 1  (ttg menjadi ...)
Aku sedang  mencoba menuliskan “sasmita” yang bisa kutangkap disaat aku sedang tidak harus melakukan apa-apa, dan sedang tidak berada dalam ikatan apa-apa. Mungkin ini bermakna sebagai memandang tanpa mata.
Awalnya mungkin topik yang kujadikan judul untuk tulisan ini hanya wacana yang sangat jauh dari jangkauan bahkan karena terlalu jauhnya sehingga bagai pepatah jauh panggang dari api, atau bahkan hanya sekedar mimpi di siang bolong, alias sesuatui yang tampaknya tak mungkin. Tapi secara tak sengaja beberapa bulan yang lalu (mungkin hampir setahun yang lalu) dalam nada yang tidak serius aku pernah bertanya “ apa bisa dirimu menjadi…?”. Kemudian kau jawab bahwa semuanya serba mungkin, beberapa persayaratan ada padamu, dan kapasitaskupun keberadaannya cukup menunjang untuk diperhitungkan sebagai pendamping.( ah… sering sekali kau katakana bahwa kapasitasku lebih memungkinkan menjadi pendukungmu, jadi rupanya sangat pas sekali dengan slogan “bersama kita Bisa”) Yang kusuka adalah bahwa kau tidak terlalu antusias dan menggebu tapi siap untuk bisa. Kemungkinan sikapmu ini diwarnai dengan besaran kans yang mungkin kau sendiri telah lebih mengetahuinya.
Itu pembicaraan kita setahun yang lalu sambil duduk santai minum teh di ruang tamu dalam suasana sangat relax, dan santai, bahkan jauh sebelum kita berangkat ke negeri. Sejak itu rasanya wacana ini terus menggelinding bagaikan bola salju yang terus bergulir makin lama makin membesar, mau tidak mau mengusik rasa untuk berkali-kali bertanya dalam diri dengan nada kurang yakin, benarkah?, mungkinkah? Dll.
Aku makin suka dan kagum bahwa aku masih mampu menangkap sikapmu yang tetap  tidak terlalu antusias dan menggebu tapi siap sedia untuk bisa. Sekiranya kau tetap bertahan demikian, dan seandainya  memang takdirmu untuk “menjadi “,maka dirimu adalah sosok  pemimpin dari langit !! Itu istilahku karena jaman sekarang sulit sekali untuk mendapatkan pemimpin dari langit, semua proses mengandalkan kekuatan manusia dalam balutan tatanan dunia yang begitu diagungkan yaitu demokrasi.       
Kesiapan itu hendaklah sejalan dengan pemahaman bahwa menjadi... itu hendaknya: senantiasa berusaha menjadi selalu amanah, tidak korup,dan tidak mengabaikan tata aturan serta etika yang berlaku, atau pendek kata siap hati,pikiran,dan tindakan untuk  yang pertama adalah tidak menghianati kebenaran, yang kedua senantiasa berusaha menjadi pemimpin yang dalam setiap keputusan dan ketetapan yang harus dilakukan tidak bertentangan dengan hati nurani, dan ketiga senantiasa berusaha menjadi pemimpin yang tetap mampu mempertahankan harkat martabat dan kemuliaan diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negeri, serta terus menerus berupaya untuk meningkatkannya.
Kukatakan padamu bahwa  menjadi ... bukanlah suatu pilihan,Itu lebih merupakan cobaan atau ujian dikarenakan  takdir, karena untuk itu orang tak bisa berkehendak dan tidak bisa melakukan suatu upaya nyata yang semata-mata agar dirinya bisa “menjadi “.  
Menjadi ... mungkin bisa juga dikatakan sebagai jabatan publik sekaligus diri pribadinya adalah publik figur, simbol kebesaran pemangku adat, sekaligus pengayom  negeri  berikut masyarakatnya,  karena akan menjadi potret nyata negerimu, pikiranmu adalah haluan negerimu,ucapanmu adalah bahasa negerimu, dan tindak tandukmu adalah geliat dinamika kehidupan rakyatmu.
Menjadi ... ,berarti  siap untuk meninggalkan diri sendiri, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan mampu berdiri tegak tetap dalam kebenaran ditengah pergumulan berbagai kepentingan, karena yang akan diemban bukanlah beban, tapi suatu amanah kehidupan yang tidak terukur  dan lebih luhur dari yang diperkirakan .
Segenap Namaullo dan (mungkin juga) Namauduo mestinya lebih berinstropeksi ,telah mampukah kita dalam domain sebagai mahluk untuk selalu berperilaku baik dan benar meskipun dalam diri melekat suatu kekuasaan yang besar? Hanya yang telah bisa melepaskan diri dari berbagai kepentingan yang mampu memegang amanah seperti itu, agar kekuasaan yang mendominasi tidak kemudian mempengruhi dan mencampuri dalam setiap geraknya sehingga bisa menggelincirkannya. karena dalam diri seorang aiyao melekat  kekuasaan yang akan selalu mewarnai setiap pikiran,ucapan dan tindakannya terhadap apapun yang diputuskannya. Karena itu Hanya yang telah mampu meninggalkan kepentingan dirinya yang akan menjadi sebaik-baik seorang aiyao yang sesungguhnya.
menjadi aiyao adalah keikhlasan luar biasa, karena jika tidak akan merasa bahwa posisi itu akan menjadi jeruji besi sangat kuat yang membelenggunya. Memang masih diperlukan pemikiran tersendiri untuk beberapa persoalan  tentang sesuatu yang menjadi kurang lazim, misalnya tentang hidup dan kehidupan seorang aiyao.  
Selama puluhan tahun terakhir ini negeri terbiasa dengan sosok aiyao yang besar dalam segala sesuatunya, dan sangat makmur sehingga tampak tidak mendapat kendala yang berarti bila seringkali harus merogoh kocek sendiri untuk beberapa keperluan yang bersangkut paut dengan negeri. Siapkah negeri mengangkat seorang aiyao yang tidak lebih makmur dari masyarakatnya? Bahkan mungkin seorang aiyao yang lebih miskin dari rakyatnya sendiri. 
Menjadi aiyao memang tidak harus kaya dan makmur serba bergelimang dalam kemewahan duniawi, tapi  keadaan seperti itu seolah-olah sudah menjadi label penting  sehingga menjadi syarat tidak tertulis yang diperlukan untuk kesiapan gerak langkah kepemimpinannya  kelak dikemudian hari. Ini yang saya sebut sebagai konsep nyata tapi  kadang keberadaannya secara nyata sering berbenturan dengan laju perkembangan jaman.  meskipun keberkahan rejeki sangat penting dalam menunjang gerak langkah kepemimpinannya, Menjadi aiyao hendaknya bisa juga dalam posisi menjadi manusia sederhana dalam keterbatasan duniawi namun bisa memewahkan diri melalui ukhrowinya. ini salah satu bagian kecil yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan karena akan menjadi berbeda dengan yang sebelumnya. Pertanyaannya siapkah masyarakat negeri menerima suatu perubahan? Dan juga perbedaan?
Penampilan yang wah dan serba bertabur glomour karena ditunjang keadaan yang serba ada dan kecukupan adalah lambang kemakmuran, namun seorang pemimpin hendaknya juga tidak lebih kaya dari yang dipimpinnya (?) Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pihak yang merasa khawatir  tidak akan mendapatkan penghargaan sepantasnya jika tidak mampu tampil demikian, dunia seakan-akan merendahkannya, rasanya tak lagi masuk dalam percaturan dunia. seolah-olah kekayaan dan hartabenda adalah satu-satunya hal yang mampu mengundang decak kagum banyak pihak dan semua itu diartikannya sebagai peningkatan harga diri, ia meletakan harkat dan martabat dirinya pada kekayaan duniawi.
Paradigma seperti itu yang perlu dibenahi meskipun bukan suatu hal yang mudah karena dunia secara luas telah terkooptasi dalam konsep yang demikian.Setidaknya perubahan dimulai dari diri sendiri, mampukan menjaga dan meningkatkan harkat martabat diri dan negeri serta masyarakatnya dengan tanpa menggunakan kemewahan materiil? Mampukah menampilkan keadaan yang apa adanya itu secara luas dengan tetap berada pada harkat dan martabat kemuliaan yang bertumpu pada kebenaran?
Jika ukuran numerik, tidak lagi menjadi standar utama, dan hukum bukan sebagai patokan baku,maka yang harus dijunjung tinggi adalah etika. Sebagai individu kita memahami etika yang berlaku paling tidak bagi diri sendiri manakala harus bersikap dan berperilaku terhadap orang lain. Individu yang banyak menjadi sekumpulan kelompok yang semestinya berlaku pula kumpulan etika endividu yang kemudian menjadi etika kelompok, dan demikian seterusnya pada skala yang lebih besar.
Dalam hal ini etika bukan lagi sekedar konsep melainkan sebagai tata perilaku yang semestinya langsung menjadi pakaian sehari-hari . Banyak hal mengenai apa yang boleh dan tidak boleh sesungguhnya telah lama ada secara turun temurun dalam  tata aturan tidak tertulis dan berlaku bagi  masyarakat negeri yang  terkemas dalam norma dan tata adat, namun sangat dimungkinkan proses transfer  yang terjadi atas semua itu kurang menyentuh banyak kalangan pada setiap generasi, sehingga banyak terjadi hal-hal yang semestinya tidak boleh,dilarang, atau bahkan tabu malah terjadi seolah tanpa kendali dan pengawasan.  Untuk itu mungkin dirasa perlu diberlakukan semacam refresh yang terus menerus dan berkelanjutan.
Dalam suatu kelompok masyarakat kita tidak dapat menuding atas suatu perkara yang seharusnya tidak terjadi semata-mata hanya dalam kacamata individual, dalam kontek kehidupan bermasyarakat ketidaktertiban yang terjadi sesungguhnya merupakan tanggung jawab moral atas kepemimpinan sang pemimpin. Mungkin dalam banyak evaluasi tak ada sebab musabab yang terlihat secara kasat mata, tapi tanggung jawab seorang pemimpin secara ukhrowi bukanlah mengantarkan rakyat dalam kesejahteraan dan kemakmuran dunia semata melainkan juga terkandung terciptanya rasa aman dan tentram atau sakinah mawaddah dan warrahmah.
Atas dasar yang demikian itu untuk menjadi aiyao tidak harus seorang yang berpendidikan tinggi atau sarjana, bukan juga seorang yang mahir dalam ilmu pemerintahan, bukan orang yang jago berbisnis, bukan pula seorang politikus,dan tidak harus seorang konglomerat.  Yang ideal untuk menjadi aiyao adalah orang yang tidak lagi memiliki multi kepentingan,atau sekurang-kurangnya mampu mengambil jarak antara kekuasaan dan kepentingannya,orang yang mampu menghangatkan suasana dan membakar semangat untuk maju tumbuh dan berkembang namun mampu mendinginkan hati yang panas dan mampu memadamkan asap yang belum mengepul.
Menjadi aiyao adalah orang yang mampu bicara tanpa kata-kata, mampu mendengar tanpa telinga,dan mampu menulis tanpa tinta.
Menjadi aiyao bukanlah pilihan,
Ia adalah bagian dari perjalanan hidup. Ada kemuliaan di satu sisi namun jurang yang dalam menganga di sisi yang lainnya. Tak banyak mantan-mantannya yang masih cukup berbesar hati untuk tinggal dalam negeri  setelah lengser keprabon, sebagian mereka pergi meninggalkan negeri dengan berbagai alasan dan dasar pertimbangan.  Padahal sekiranya saja mereka tetap tinggal di negeri sekurang-kurangnya negeri memiliki kesempatan bagaimana memuliakan pemimpinnya ketika telah menanggalkan baju kekuasaannya.
Negeri  ini tak terlalu besar luasnya, tapi bayang-bayang masalalu tetap melekat pada kebesarannya. Menjadi pemimpinnya bukan hal yang ringan karena peliknya seluk beluk berbagai labirin permasalahan yang berkaitan dengannya. Seluruh masyarakatnya pandai bahkan selalu ingin tampak lebih pandai dari siapapun, seluruh masyarakatnya selalu tampil ingin menjadi yang paling benar sehingga kadang melupakan kebenaran-kebenaran dari yang lainnya. Semua orang memiliki semangat yang tinggi mewarisi  semua kapitan dan malesi yang gagah berani yang pernah ada pada masa sebelumnya, semangat tinggi yang kadang kurang pada tempatnya dan bersifat homogen ini kadang malah menaikkan suhu dalam kebersamaan.
Yang paling pelik adalah apa yang selama ini dipahami sebagai hal-hal yang tidak seharusnya terjadi malah terjadi, yang seharusnya disembunyikan malah dimunculkan dan sebaliknya yang seharusnya dimunculkan malah disembunyikan. Banyak orang malah kelihatan saling berlomba dalam konsep modern yang dibanggakannya melebihi apapun dan konsep lama yang terus mewarnai negeri seakan dianggap sebagai sesuatu yang telah usang dan layak diganti.
Ada yang kurang mendapat sentuhan perhatian dari sebagian besar masyarakat negeri yaitu bagimana menampilkan negeri secara  utuh apa adanya dalam kebesaran jiwa  dan ruh adat yang agung….##16062016##

PART 2 (pinangan menjadi)
Beberapa hari lalu tepatnya Selasa malam 4 Juli 2017, saat kami berdua sholat Isya berjamaah, masih di rakaa’at pertema telphon bordering, dan berulang hingga mungkin sekitar tiga kali, selepas sholat barulah paitua mengangkatnya.  Rupanya follow up untuk mengkonfirmasi kesediaan atas wacana ‘pinangan’ menjadi aiyao apabila memungkinkan. Akhirnya terkonfirm, dan menyanggupi,meskipun belum tahu apa-apa tentang segala sesuatu dan seluk-beluknya, dan malam itu akhirnya berulang kali telphon bordering terus menerus dari beberapa orang yang berbeda yang mendukung dan mendorong dan apapun itu namanya yang akhirnya membawa pada pikiran kami yang memulai mereka-reka sekiranya semua itu nyata……mulai menyiapkan mental dengan filosofi-filosofi sekiranya nyata, merajut angan sekiraya kelak menjadi benar-benar nyata, sampai terlelap di tengah malam.
Esok harinya, tak ada sesuatu yang berarti, ibarat gelombang air maka pagi itu tetang nyaris tanpa riak yang berarti, pembicaraan telphon sekedar menyeimbangkan situasi dan keadaan, hingga malam hari, mungkin setelah disana dikomunikasikan, akhirnya dikabarkan bahwa segala sesuatunya belum memungkinkan alias panding !!
Ya….itulah angin sorga yang sempat bertiup dan berhembus sesaat, menyentuh dengan kesejukannya yang agung, menyegarkan, dan menyejukkan. Sesuatu hal yang belum pasti, bahkan sebelumnya tak pernah mengusik minat kami meski aku telah pernah memperkirakannya sejak beberapa tahun yang lalu (lihat tulisan Part 1 diatas).
Bahkan spontanitas aku langsung menolaknnya ketika info pinangan itu diterima, aku memang tidak menginginkannya, entah mengapa itu bukan hal menarik bagiku karena yang kulihat hanya tumpukan masalah dan berbagai urusan yang rumit, pendek kata aku kurang tertarik, tapi meskipun demikian bila paitua mengiyakan apa boleh buat aku harus menjadi pendukung dan pembantu utamanya dalam banyak hal.


Ini kutulis, setidak-tidaknya sekedar mencolek saja bahwa tulisanku sekian tahun yang lalu itu bukan sekedar wacana kosong, itu adalah intuisi yang sempat kutangkap dalam ketidak tahuanku tentang sesuatu yang sebenarnya. Mungkin karena aku melihat bahwa dirimu dan diriku memungkinkan, paling tidak bukan hanya aku yang membaca samita itu, terbukti beberapa orang lain pun memiliki penglihatan sama meski tolok ukur, pijakan dan terminology dasar pertimbangannya sudah pasti berbeda. Yang pasti tulisanku ini bukan khayal atau fiksi belaka, karena senyatanya jelang sekian tahun hal itu menjadi nyata. Semoga …..tulisan ini akan berlanjut pada Part 3.**7Juli2017**