THIWUL
Minggu pagi menjelang jam sembilan, mbakyuku lewat depan rumah dan menghentikan motornya, aku cepat keluar menyongsongnya di pintu pagar karena dia tidak bermaksud singgah hanya mau menyampaikan pesananku saja. Awalnya beberapa hari lalu saat duduk berbincang sambil menyelesaikan jahitan pesanan orang, obrolan sampailah ke soal thiwul, dan tiba-tiba rasanya jadi kangen banget dengan makanan yang satu itu, setelah lama sekali tak pernah jumpa Akhirnya begitu ada kesempatan langsung berburu…. thiwul
Sangat luar biasa rasanya, terlebih lagi sudah berbilang belasan tahun tidak pernah ketemu dan menikmatinya. Sebungkus kecil thiwul lengkap dengan kelapa parut rasanya menjadi begitu ueeeenak dan….nikmat. Aku segera menuliskan "testimoni"ku itu dan mengirim sms ke beberapa orang dekat yang aku kira adalah fans juga sepertiku. Tapi ternyata respon smsku tidak senikmat lezatnya Thiwul yang sedang kusantap…
Thiwul manis dengan kelapa parut….termasuk makanan kecil jajanan pasar khas ndeso jaman dulu. Terbuat dari parutan gaplek (singkong yang telah diawetkan) ditambah gula, kemudian dikukus. Masih ada beberapa variasi makanan sejenis yang berbahan dasar gaplek selain thiwul manis, karena ada juga thiwul yang tidak manis, jenis ini pada jaman dulu menjadi makanan alternatif saat paceklik atau karena sesuatu sebab lainnya sehingga beras tidak terjangkau dan nasi tidak terhidang. Thiwul tawar yang disajikan sebagai penganan kecil atau jajanan disebut gaplo dan biasanya berbentuk bulat pipih kecil dengan diameter sekitar lima atau enam centimeter dialasi dengan samir atau daun pisang yang dipotong bentuk bulat. Satu lagi bentuk variasi lain yang juga khas adalah gathot warnanya hitam dan kenyal,kalau thiwul terbuat dari gaplek yang diparut, maka gathot dibuat dari gaplek khusus yang hanya diiris tipis-tipis kemudian dikukus pelengkap makannya kelapa parut yang ditaburi sedikit garam. Rasanya sangat melankolis….
Baik Thiwul manis, gaplo, gathot, atau apapun makanan lain yang berbahan dasar gaplek mempunyai kecenderungan rasa yang diidentikkan dengan hal-hal minor seperti, paceklik, kesusahan, kemelaratan, ndeso, terbelakang, kampungan, kesedihan, dan sebagainya. Itulah image yang melekat erat pada jenis makanan berbahan dasar singkong khususnya gaplek, tidak heran jika kini menjadi makin terpinggirkan posisinya. Kalau kita masuk ke pasar tradisional mungkin mulai sulit mencari penjualnya yang hanya tinggal satu atau dua orang karena sudah banyak yang beralih menjadi penjual makanan lain yang lebih modern.
Tidak heran juga kalau sekarang dunia telah kehilangan seleranya, perkembangan jaman memungkinkan tumbuhnya aneka jenis makanan lain yang lebih variatif, lebih bergizi, dan lebih bergengsi. Penyuka Thiwul pun makin sedikit dan mungkin bisa dipastikan bahwa mereka adalah termasuk orang-orang yang mulai terpinggirkan oleh jaman...
Rasanya yang melankolis sulit dinikmati oleh orang kebanyakan orang, bahkan mencari kata yang tepat untuk mendiskripsikan rasanya secara tepatpun tidak semua orang mampu melakukannya, kondisi ini diperparah oleh kalangan muda yang seperti antipati dan memandangnya dengan sebelah mata begitu mendengar kata "Thiwul".
Pada jaman sekarang, Thiwul menjadi kehilangan pamornya karena identik dengan kesusahan dan kesedihan, dan dua hal itu adalah yang selalu dihindari oleh setiap orang. Semua orang mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, dan setiap orang akan merasa bahwa masalahnya adalah yang paling besar, paling berat,p aling sulit, dan paling susah penyelesaiannya. Kalau kita bandingkan dengan melihat orang lain, sepertinya betapa bahagianya orang lain karena dia tidak mempunyai masalah seperti kita. Betapa senangnya orang itu karena hidupnya seolah-olah tanpa masalah. Tapi benarkah begitu? Pepatah mengatakan bahwa rumput dihalaman orang lain selalu nampak lebih hijau…atau gunung dari kejauhan nampak begitu hijau asri dan indah, atau kebun teh yang dari kejauhan seperti hamparan permadari yang empuk….dan seterusnya. Begitu kita dekati dengan lebih dekat lagi akan makin tampak senyatanya bahwa rumput tetangga ternyata tidaklah hijau seutuhnya, karena bagian-bagian yang meranggas tidak tampak dari pandangan kita, ketika kita berniat menuju puncak gunung, baru sampai di lerengnya saja akan mulai berhamburan keluh kesah karena sulitnya medan yang harus dilalui sepanjang kaki gunung. Atau saat kita ke hamparan kebun teh, ternyata semak-semak perdu tanaman teh kadang menyulitkan perjalanan kita karena ranting2nya yang begitu kuat dan tingginya kadang menutup lebih dari separoh badan kita. Ya…semuanya setelah kita dekati dengan lebih dekat, menjadi tidak seindah dalam pandangan dari kejauhan.
Pandangan lahiriah sering tampak terkesan menipu, karena banyak hanya sekedar viasualisasi, yang diselingi dengan fatamorgana. Dari jauh kita melihat fatamorgana sebagai sebuah harapan saat berada di padang pasir, namun saat mendekat ternyata tidak ada apa-apa, bahkan posisi fatamorgana itupun telah berpindah arah. Fatamorgana ini sering menyesatkan, terutama bagi orang-orang yang menjadikan fatamorgana sebagai panduan dalam perjalanannya. Karena itulah sangat tidak dianjurkan kita melangkah dengan b ertumpu pada harapan yang tanpa disertai dengan keyakinan, karena keyakinan adalah arah yang akan menjadi petunjuk jalanmu, termasuk bila kau konsisten pada arah tujuanmu maka sejumlah fatamorgana di depanmu tak akan sanggup membelokkan langkahmu. Keyakinan adalah sebuah awal, sesuatu yang harus selalu ada, sampai akhir, karena apa yang kau yakini tidak akan pernah salah.
Dulu pernah ada karikatur dengan tek begini
" lebih baik makan nasi dari pada sinkong
Lebih baik singkong dari pada kebun
Lebih baik kebun daripada orang"
Nah loo…bingung nggak? Memang gak nyambung dengan konteks Thiwul-ku ini, tapi karena aku tiba-tiba mengingatnya maka kutulislah disini. Yang tidak tahu dalam konteks apa teks dalam karikatur itu pasti nggak mudeng 100%, tapi baiklah kucoba terangkan sedikit
Teks itu melengkapi karikatur bergambar presiden ke dua, yang terimage kan dekat dengan kelompok tani dan mungkin bermaksud memotivasi rakyatnya, namun dengan bahasa yang kadang2 salah kaprah dan menyesatkan (daripada) tapi namanya orang nomor satu…..kok sepertinya sampai akhir hayatnya tidak ada upaya untuk merubah bhsnya menjadi baik dan benar ya???
Pada kalimat pertama "lebih baik makan nasi dari pada sinkong" sepertinya bukan sesuatu yang luar biasa,semua orang tahu itu, yang paling miskin sekalipun. Lalu mengapa mereka tetap makan singkong dan makan gaplek? Itu bukan karena ketidak tahuan, tapi karena keadaan yang memaksanya akibat daya jangkau yang tidak sampai. Pepatah "soal kata lidah bisa bohong,tapi soal rasa lidah tidak bisa bohong" itupun sudah diamini oleh semua orang baik yang kaya raya mapun yang miskin. Jadi kadang kupikir kata "selera" untuk sesuatu keadaan yang merujuk pada makanan sebenarnya itu tidak ada, yang lebih tepat adalah "kemampuan untuk memenuhi nafsu makan". Ya, makan adalah bagian dari nafsu, karena bisa tinggi bisa rendah. Semurah atau semahal apapun yang kita makan batasnya adalah kenyang. Makanan mahal tidak selalu bermakna nikmat, dan makanan murah tidak selalu tidak lezat.
Bandung,maret 2010
By:Arkeni Pattisahusiwa