Tugasku pada
saat ini adalah sedang tidak bertugas apa-apa, ya…aku sedang tidak harus
melakukan apa-apa. Ini adalah keadaan yang kuterjermahkan sebagai tugasku saat
ini, setelah sekian lama waktuku tersita “hanya” untuk melakukan banyak hal
yang tumpang tindih dalam waktu bersamaan yang terkemas sebagai tugasku dalam
pekerjaan, yang membuatku merasa kehilangan waktuku sendiri, kini…Inilah
waktuku, inilah kemerdekaan jiwaku. Tapi dalam kemerdekaan yang selama ini
kudambakan terkadang aku tidak tahu apa
yang sesungguhnya harus kulakukan,
mungkin diriku sudah terlanjur terbentuk oleh image dan kebiasaan untuk selalu
melakukan tugas-tugas, sehingga ketika aku tidak harus melakukan sesuatu aku
menjadi terpana dan berkata tanpa kata-kata…rupanya inilah tugasku sekarang.
PART 1 (ttg menjadi ...)
Aku sedang mencoba menuliskan “sasmita” yang bisa
kutangkap disaat aku sedang tidak harus melakukan apa-apa, dan sedang tidak
berada dalam ikatan apa-apa. Mungkin ini bermakna sebagai memandang tanpa mata.
Awalnya mungkin
topik yang kujadikan judul untuk tulisan ini hanya wacana yang sangat jauh dari
jangkauan bahkan karena terlalu jauhnya sehingga bagai pepatah jauh panggang
dari api, atau bahkan hanya sekedar mimpi di siang bolong, alias sesuatui yang tampaknya tak mungkin. Tapi secara tak
sengaja beberapa bulan yang lalu (mungkin hampir setahun yang lalu) dalam nada
yang tidak serius aku pernah bertanya “ apa bisa dirimu menjadi…?”. Kemudian
kau jawab bahwa semuanya serba mungkin, beberapa persayaratan ada padamu, dan
kapasitaskupun keberadaannya cukup menunjang untuk diperhitungkan sebagai
pendamping.( ah… sering sekali kau katakana bahwa kapasitasku lebih
memungkinkan menjadi pendukungmu, jadi rupanya sangat pas sekali dengan slogan
“bersama kita Bisa”) Yang kusuka adalah bahwa kau tidak terlalu antusias dan
menggebu tapi siap untuk bisa. Kemungkinan sikapmu ini diwarnai dengan besaran
kans yang mungkin kau sendiri telah lebih mengetahuinya.
Itu
pembicaraan kita setahun yang lalu sambil duduk santai minum teh di ruang tamu
dalam suasana sangat relax, dan santai, bahkan jauh sebelum kita berangkat ke
negeri. Sejak itu rasanya wacana ini terus menggelinding bagaikan bola salju
yang terus bergulir makin lama makin membesar, mau tidak mau mengusik rasa
untuk berkali-kali bertanya dalam diri dengan nada kurang yakin, benarkah?,
mungkinkah? Dll.
Aku makin
suka dan kagum bahwa aku masih mampu menangkap sikapmu yang tetap tidak terlalu antusias dan menggebu tapi siap
sedia untuk bisa. Sekiranya kau tetap bertahan demikian, dan seandainya
memang takdirmu untuk “menjadi “,maka dirimu adalah sosok pemimpin dari langit !! Itu istilahku karena
jaman sekarang sulit sekali untuk mendapatkan pemimpin dari langit, semua
proses mengandalkan kekuatan manusia dalam balutan tatanan dunia yang begitu
diagungkan yaitu demokrasi.
Kesiapan itu hendaklah sejalan dengan
pemahaman bahwa menjadi... itu hendaknya: senantiasa berusaha menjadi selalu amanah, tidak korup,dan tidak mengabaikan tata aturan serta etika
yang berlaku, atau pendek kata siap hati,pikiran,dan tindakan untuk yang pertama adalah tidak menghianati kebenaran,
yang kedua senantiasa berusaha menjadi pemimpin yang dalam setiap keputusan dan ketetapan
yang harus dilakukan tidak bertentangan dengan hati nurani, dan ketiga
senantiasa berusaha menjadi pemimpin yang tetap mampu mempertahankan harkat martabat
dan kemuliaan diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negeri, serta terus
menerus berupaya untuk meningkatkannya.
Kukatakan
padamu bahwa menjadi ... bukanlah
suatu pilihan,Itu lebih merupakan cobaan atau ujian dikarenakan takdir, karena untuk itu orang tak bisa
berkehendak dan tidak bisa melakukan suatu upaya nyata yang semata-mata agar
dirinya bisa “menjadi “.
Menjadi ... mungkin
bisa juga dikatakan sebagai jabatan publik sekaligus diri pribadinya adalah
publik figur, simbol kebesaran pemangku adat, sekaligus pengayom negeri
berikut masyarakatnya, karena akan menjadi potret nyata negerimu, pikiranmu adalah haluan negerimu,ucapanmu
adalah bahasa negerimu, dan tindak tandukmu adalah geliat dinamika kehidupan
rakyatmu.
Menjadi
... ,berarti siap untuk meninggalkan
diri sendiri, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, dan mampu berdiri
tegak tetap dalam kebenaran ditengah pergumulan berbagai kepentingan, karena yang
akan diemban bukanlah beban, tapi suatu amanah kehidupan yang tidak terukur dan lebih luhur dari yang diperkirakan .
Segenap Namaullo dan (mungkin juga) Namauduo
mestinya lebih berinstropeksi ,telah mampukah kita dalam domain sebagai mahluk
untuk selalu berperilaku baik dan benar meskipun dalam diri melekat suatu
kekuasaan yang besar? Hanya yang telah bisa melepaskan diri dari berbagai
kepentingan yang mampu memegang amanah seperti itu, agar kekuasaan yang
mendominasi tidak kemudian mempengruhi dan mencampuri dalam setiap geraknya
sehingga bisa menggelincirkannya. karena dalam diri seorang aiyao melekat kekuasaan yang akan selalu mewarnai setiap
pikiran,ucapan dan tindakannya terhadap apapun yang diputuskannya. Karena itu
Hanya yang telah mampu meninggalkan kepentingan dirinya yang akan menjadi
sebaik-baik seorang aiyao yang sesungguhnya.
menjadi
aiyao adalah keikhlasan luar biasa, karena jika tidak akan merasa bahwa posisi
itu akan menjadi jeruji besi sangat kuat yang membelenggunya. Memang masih
diperlukan pemikiran tersendiri untuk beberapa persoalan tentang sesuatu yang menjadi kurang lazim,
misalnya tentang hidup dan kehidupan seorang aiyao.
Selama puluhan tahun terakhir ini negeri
terbiasa dengan sosok aiyao yang besar dalam segala sesuatunya, dan sangat
makmur sehingga tampak tidak mendapat kendala yang berarti bila seringkali
harus merogoh kocek sendiri untuk beberapa keperluan yang bersangkut paut
dengan negeri. Siapkah negeri mengangkat seorang aiyao yang tidak lebih makmur
dari masyarakatnya? Bahkan mungkin seorang aiyao yang lebih miskin dari
rakyatnya sendiri.
Menjadi
aiyao memang tidak harus kaya dan makmur serba bergelimang dalam kemewahan
duniawi, tapi keadaan seperti itu
seolah-olah sudah menjadi label penting
sehingga menjadi syarat tidak tertulis yang diperlukan untuk kesiapan
gerak langkah kepemimpinannya kelak
dikemudian hari. Ini yang saya sebut sebagai konsep nyata tapi kadang keberadaannya secara nyata sering
berbenturan dengan laju perkembangan jaman.
meskipun keberkahan rejeki sangat penting dalam menunjang gerak langkah kepemimpinannya,
Menjadi aiyao hendaknya bisa juga dalam posisi menjadi manusia sederhana dalam
keterbatasan duniawi namun bisa memewahkan diri melalui ukhrowinya. ini salah
satu bagian kecil yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan karena akan menjadi
berbeda dengan yang sebelumnya. Pertanyaannya siapkah masyarakat negeri
menerima suatu perubahan? Dan juga perbedaan?
Penampilan
yang wah dan serba bertabur glomour karena ditunjang keadaan yang serba ada dan
kecukupan adalah lambang kemakmuran, namun seorang pemimpin hendaknya juga
tidak lebih kaya dari yang dipimpinnya (?) Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak
pihak yang merasa khawatir tidak akan
mendapatkan penghargaan sepantasnya jika tidak mampu tampil demikian, dunia seakan-akan
merendahkannya, rasanya tak lagi masuk dalam percaturan dunia. seolah-olah
kekayaan dan hartabenda adalah satu-satunya hal yang mampu mengundang decak
kagum banyak pihak dan semua itu diartikannya sebagai peningkatan harga diri,
ia meletakan harkat dan martabat dirinya pada kekayaan duniawi.
Paradigma
seperti itu yang perlu dibenahi meskipun bukan suatu hal yang mudah karena
dunia secara luas telah terkooptasi dalam konsep yang demikian.Setidaknya
perubahan dimulai dari diri sendiri, mampukan menjaga dan meningkatkan harkat
martabat diri dan negeri serta masyarakatnya dengan tanpa menggunakan kemewahan
materiil? Mampukah menampilkan keadaan yang apa adanya itu secara luas dengan
tetap berada pada harkat dan martabat kemuliaan yang bertumpu pada kebenaran?
Jika ukuran
numerik, tidak lagi menjadi standar utama, dan hukum bukan sebagai patokan
baku,maka yang harus dijunjung tinggi adalah etika. Sebagai individu kita
memahami etika yang berlaku paling tidak bagi diri sendiri manakala harus
bersikap dan berperilaku terhadap orang lain. Individu yang banyak menjadi
sekumpulan kelompok yang semestinya berlaku pula kumpulan etika endividu yang
kemudian menjadi etika kelompok, dan demikian seterusnya pada skala yang lebih
besar.
Dalam hal
ini etika bukan lagi sekedar konsep melainkan sebagai tata perilaku yang
semestinya langsung menjadi pakaian sehari-hari . Banyak hal mengenai apa yang
boleh dan tidak boleh sesungguhnya telah lama ada secara turun temurun
dalam tata aturan tidak tertulis dan
berlaku bagi masyarakat negeri yang terkemas dalam norma dan tata adat, namun
sangat dimungkinkan proses transfer yang
terjadi atas semua itu kurang menyentuh banyak kalangan pada setiap generasi, sehingga
banyak terjadi hal-hal yang semestinya tidak boleh,dilarang, atau bahkan tabu
malah terjadi seolah tanpa kendali dan pengawasan. Untuk itu mungkin dirasa perlu diberlakukan
semacam refresh yang terus menerus dan berkelanjutan.
Dalam suatu
kelompok masyarakat kita tidak dapat menuding atas suatu perkara yang
seharusnya tidak terjadi semata-mata hanya dalam kacamata individual, dalam
kontek kehidupan bermasyarakat ketidaktertiban yang terjadi sesungguhnya
merupakan tanggung jawab moral atas kepemimpinan sang pemimpin. Mungkin dalam
banyak evaluasi tak ada sebab musabab yang terlihat secara kasat mata, tapi
tanggung jawab seorang pemimpin secara ukhrowi bukanlah mengantarkan rakyat
dalam kesejahteraan dan kemakmuran dunia semata melainkan juga terkandung
terciptanya rasa aman dan tentram atau sakinah mawaddah dan warrahmah.
Atas dasar
yang demikian itu untuk menjadi aiyao tidak harus seorang yang berpendidikan
tinggi atau sarjana, bukan juga seorang yang mahir dalam ilmu pemerintahan,
bukan orang yang jago berbisnis, bukan pula seorang politikus,dan tidak harus
seorang konglomerat. Yang ideal untuk
menjadi aiyao adalah orang yang tidak lagi memiliki multi kepentingan,atau
sekurang-kurangnya mampu mengambil jarak antara kekuasaan dan
kepentingannya,orang yang mampu menghangatkan suasana dan membakar semangat
untuk maju tumbuh dan berkembang namun mampu mendinginkan hati yang panas dan
mampu memadamkan asap yang belum mengepul.
Menjadi
aiyao adalah orang yang mampu bicara tanpa kata-kata, mampu mendengar tanpa
telinga,dan mampu menulis tanpa tinta.
Menjadi
aiyao bukanlah pilihan,
Ia adalah
bagian dari perjalanan hidup. Ada kemuliaan di satu sisi namun jurang yang
dalam menganga di sisi yang lainnya. Tak banyak mantan-mantannya yang masih
cukup berbesar hati untuk tinggal dalam negeri
setelah lengser keprabon,
sebagian mereka pergi meninggalkan negeri dengan berbagai alasan dan dasar
pertimbangan. Padahal sekiranya saja
mereka tetap tinggal di negeri sekurang-kurangnya negeri memiliki kesempatan
bagaimana memuliakan pemimpinnya ketika telah menanggalkan baju kekuasaannya.
Negeri ini tak terlalu besar luasnya, tapi
bayang-bayang masalalu tetap melekat pada kebesarannya. Menjadi pemimpinnya
bukan hal yang ringan karena peliknya seluk beluk berbagai labirin permasalahan
yang berkaitan dengannya. Seluruh masyarakatnya pandai bahkan selalu ingin
tampak lebih pandai dari siapapun, seluruh masyarakatnya selalu tampil ingin
menjadi yang paling benar sehingga kadang melupakan kebenaran-kebenaran dari
yang lainnya. Semua orang memiliki semangat yang tinggi mewarisi semua kapitan dan malesi yang gagah berani
yang pernah ada pada masa sebelumnya, semangat tinggi yang kadang kurang pada
tempatnya dan bersifat homogen ini kadang malah menaikkan suhu dalam
kebersamaan.
Yang paling
pelik adalah apa yang selama ini dipahami sebagai hal-hal yang tidak seharusnya
terjadi malah terjadi, yang seharusnya disembunyikan malah dimunculkan dan
sebaliknya yang seharusnya dimunculkan malah disembunyikan. Banyak orang malah
kelihatan saling berlomba dalam konsep modern yang dibanggakannya melebihi
apapun dan konsep lama yang terus mewarnai negeri seakan dianggap sebagai
sesuatu yang telah usang dan layak diganti.
Ada yang
kurang mendapat sentuhan perhatian dari sebagian besar masyarakat negeri yaitu
bagimana menampilkan negeri secara utuh apa
adanya dalam kebesaran jiwa dan ruh adat
yang agung….##16062016##
PART 2 (pinangan
menjadi)
Beberapa
hari lalu tepatnya Selasa malam 4 Juli 2017, saat kami berdua sholat Isya
berjamaah, masih di rakaa’at pertema telphon bordering, dan berulang hingga
mungkin sekitar tiga kali, selepas sholat barulah paitua mengangkatnya. Rupanya follow up untuk mengkonfirmasi
kesediaan atas wacana ‘pinangan’ menjadi aiyao apabila memungkinkan. Akhirnya
terkonfirm, dan menyanggupi,meskipun belum tahu apa-apa tentang segala sesuatu
dan seluk-beluknya, dan malam itu akhirnya berulang kali telphon bordering terus
menerus dari beberapa orang yang berbeda yang mendukung dan mendorong dan
apapun itu namanya yang akhirnya membawa pada pikiran kami yang memulai
mereka-reka sekiranya semua itu nyata……mulai menyiapkan mental dengan
filosofi-filosofi sekiranya nyata, merajut angan sekiraya kelak menjadi
benar-benar nyata, sampai terlelap di tengah malam.
Esok
harinya, tak ada sesuatu yang berarti, ibarat gelombang air maka pagi itu
tetang nyaris tanpa riak yang berarti, pembicaraan telphon sekedar
menyeimbangkan situasi dan keadaan, hingga malam hari, mungkin setelah disana
dikomunikasikan, akhirnya dikabarkan bahwa segala sesuatunya belum memungkinkan
alias panding !!
Ya….itulah angin sorga yang sempat bertiup dan berhembus sesaat, menyentuh dengan kesejukannya
yang agung, menyegarkan, dan menyejukkan. Sesuatu hal yang belum pasti, bahkan
sebelumnya tak pernah mengusik minat kami meski aku telah pernah
memperkirakannya sejak beberapa tahun yang lalu (lihat tulisan Part 1 diatas).
Bahkan
spontanitas aku langsung menolaknnya ketika info pinangan itu diterima, aku
memang tidak menginginkannya, entah mengapa itu bukan hal menarik bagiku karena
yang kulihat hanya tumpukan masalah dan berbagai urusan yang rumit, pendek kata
aku kurang tertarik, tapi meskipun demikian bila paitua mengiyakan apa boleh
buat aku harus menjadi pendukung dan pembantu utamanya dalam banyak hal.
Ini kutulis,
setidak-tidaknya sekedar mencolek saja bahwa tulisanku sekian tahun yang lalu itu
bukan sekedar wacana kosong, itu adalah intuisi yang sempat kutangkap dalam
ketidak tahuanku tentang sesuatu yang sebenarnya. Mungkin karena aku melihat
bahwa dirimu dan diriku memungkinkan, paling tidak bukan hanya aku yang membaca
samita itu, terbukti beberapa orang lain pun memiliki penglihatan sama meski
tolok ukur, pijakan dan terminology dasar pertimbangannya sudah pasti berbeda.
Yang pasti tulisanku ini bukan khayal atau fiksi belaka, karena senyatanya
jelang sekian tahun hal itu menjadi nyata. Semoga …..tulisan ini akan berlanjut
pada Part 3.**7Juli2017**