Monday, December 14, 2015

JUJUR


Jika kesabaran itu adalah sesuatu yang tanpa batas, maka tidak demikian hal nya dengan kejujuran.Kejujuran ternyata ada batasnya, dan bukan hanya itu tapi kejujuran mungkin memang harus berbatas. Tidak selamanya kita harus berlaku dan bersikap jujur dan apa adanya terhadap orang lain, terlebih lagi bila kejujuran kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak mampu menerima kita secara apa adanya, situasi bisa menjadi berbalik 180 derajat, bisa berubah menjadi malapetaka karena orang mungkin tidak suka dengan kejujuran kita yang malahan dianggap "membahayakan" baginya.
Emosi yang menyulut bisa berbuntut perselisihan paham, pertengkaran,dan permusuhan akibat perbedaan terminologi pemahaman,latar belakang, dan latar depan. Pada tingkat yang lebih kronis, orang bisa berbalik menjerumuskan dan menjebloskan kita pada jurang kesalahan karena kejujuran kita dianggap sebagai suatu kesalahan besar. Tidak kurang contoh-contoh peristiwa seperti itu yang marak terjadi disekitar kita, seorang petinggi yang kecewa atau dikecewakan oleh posisinya kemudian "menyanyi lagu kejujuran", maka dengan sertamerta banyak orang yang kebakaran jenggot dan beramai-ramai mengatakan ketidakbenaran ungkapannya, dan bahkan berbalik menuduhnya dengan diperlengkapi berbagai senjata berupa argumen dan bukti-bukti maka jadilah ia tersangka dan didudukkan pada kursi tersangka,.posisi paling apes dalam kehidupan dunia sekarang ini, karena situasi yang lemahpun sudah dilambangkan dalam kedudukannya di kursi panas yang kecil ,pada posisi rendah dan terkucil berada di tengah persidangan sebagai pesakitan.
Dalam kehidupan rumah tangga saja , antara suami dan istri kadang-kadang kejujuran tidak bisa secara vulgar ditampilkan, ada rasa teposliro, dan empati yang menjadi pertimbangan kita untuk mengukur hati dalam penerimaan kejujuran oleh pasangan kita. Kadangkala kesungguhan kejujuran menjadi dikalahkan demi menjaga kedamain hubungan keduanya. Mestinya dua insan yang telah bersedia sehidup semati bersama dalam ikatan suci Tuhan, tak lagi akan tersulut kegundahannya manakala mendengar apapun kepolosan ungkapan dari pasangan kita. Tapi itulah manusia, Allah telah mengatur segalanya termasuk keterbatasan daya kemampuan telinga dan hati kita manakala mendengar kejujuran meskipun itu disampaikan oleh orang-orang terdekat kita. Seolah-olah kita hanya mampu menerima hal yang baik-baik saja, yang serba menyenangkan dengan alasan mampu membangkitkan semangat dan gairah hidup.
Benarkah keadaan yang serba apa adanya tidak mampu membangkitkan gairah hidup menjadi lebih berwarna? Seharusnya hubungan suami istri adalah hubungan antar insan manusia yang paling dekat melebihi berbagai interaksi antar manusia lainnya. Mestinya kepolosan, kesungguhan, dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, adalah sikap dan perilaku yang harus mewarnai keduanya. Tapi sayang sungguh sayang, hal-hal semacam itu seakan-akan menjadi makin jauh dari jangkauan, ibarat pepatah "jauh panggang dari api", alih-alih berlaku jujur dalam segala hal yang terjadi dalam banyak keluarga justru kepalsuan, kebohongan, bahkan intrik-intrik yang tidak sepantasnya karena untuk menyembunyikan yang sebenarnya.  Hal seperti itu melintas dan berada diseputar kehidupan rumah tangga,dan  itulah yang banyak ditayangkan oleh sinetron-sinetron kita. Sebuah tontonan yang akan dijadikan tuntunan yang bisa jadi malah menyesatkan bagi sebagian orang.  Setiap apa yang dilihat, didengar, dan melintas dalam ingatan kita, itu semua sesungguhnya bermakna tuntunan, ajaran, dan petunjuk. Karena itu sangat dianjurkan untuk berperilaku  yang sebaik-baiknya supaya apa yang kita lakukan, dan apa yang kita perdengarkan menjadikan diri kita adalah jalan Allah dalam menyampaikan kebenaranNya.
Tidak sedikit contoh, dimana orang-orang yang secara pribadi mengusung suatu kejujuran yang beresiko,seringkali hanya dianggap salah,tidak penting, dan berbahaya sehingga layak disingkirkan dengan cara apapun oleh pihak-pihak yang merasa terancam dengan kejujurannya itu.  Hal itu terjadi karena ada orang yang merasa bahwa kejujuran orang lain bisa sangat membahayakan baginya. Belum lagi media massa yang dengan hiruk pikuk ikut nimbrung menambah  warna-warni  keadaan dengan sangat gencar, menampilkan hasil liputan dengan berbagai metode jurnalistiknya baik melalui berita tulis, wawancara ekslusif atau langsung didepan publik, dan lain sebagainya  yang pada intinya ingin memberikan porsi yang seimbang antara kubu-kubu yang berseberangan, tetap saja semua itu malah menimbulkan situasi chaos atau kekacauan pemahaman pada masyarakat awam yang ujung-ujungnya malah menjadi krisis kepercayaan.
Mungkin memang sudah menjadi suatu keniscahyaan atau konsekuensi logis bahwa kejujuran selalu membawa resiko baik besar maupun kecil bagi pelakunya. Karena itu bukan saja diperlukan keberanian tapi juga nyali yang tidak kecil bagi orang-orang yang ingin menjadi jujur. Bersikap dan berlaku jujur bagi sebagian orang ternyata tidak semudah kelihatannya. Jujur bukan saja berarti mengatakan yang sebenarnya, jujur mempunyai pemahaman yang lebih dari itu, bukan saja hanya soal bicara tapi meliputi pemikiran,sikap, dan juga perilaku.  Jujur bisa dimaknai sebagai mengatakan atau bersikap secara apa adanya, tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangkan, dan tidak menghiasinya dengan rekayasa kesan baik untuk sebelum dan sesudahnya.
Saya banyak menjumpai orang-orang yang dalam kehidupan sehari-harinya begitu sibuk dengan urusan pengelolaan kesan tentang dirinya bagi orang lain. Mulai dari cara bicara, penampilan, dan rencana-rencana yang dibuatnya. Mungkin ia mencoba berfikir strategis dengan serba memperhitungkan segala-galanya, tapi saya yakin ia tidak pernah menyadarinya bahwa semua yang dilakukannya penuh dengan rekayasa kesan atas dirinya bagi orang lain. Sebelum melakukan sesuatu ia akan memperkirakan terlebih dahulu kesan apa yang diharapkan sebagai timbal baliknya. Ketika ia mengenakan sesuatu iapun berhitung tentang kesan-kesan orang lain yang akan timbul sesuai perkiraannnya. Saya kira nyaris tidak ada sesuatupun yang dikerjakannya yang tanpa rekayasa kesan apalagi yang dilakukannya secara sungguh-sungguh apa adanya dan ikhlas.  Kata Ikhlas begitu familier menghiasi bibir banyak orang ketika mengatakan sesuatu , tapi seperti apa sesungguhnya ikhlas itu? Saya bukan seorang definitator, tapi setidaknya pengertian ikhlas dalam pemahaman saya adalah "melakukan sesuatu tanpa mengharapkan sesuatu", jadi semua yang dilakukan sepenuhnya hanya untuk Allah,dan karena Allah saja.
Jika kita telah bisa berlaku ikhlas sebagaimana yang seharusnya, kita tidak akan disibukkan lagi dengan pengelolaan rekayasa kesan bagi orang lain, bahkan kita tidak akan membutuhkan itu. Bersikap  dan berlaku untuk Allah tidak memerlukan perekayasaan, semua harus apa adanya, seadanya,tanpa dibuat-buat.
Kembali pada kejujuran yang berbatas, mengapa saya katakan demikian? Karena tidak semua yang kita ketahui  harus disampaikan kepada dunia, kecuali hanya yang sedikit saja karena sebagian yang lainnya merupakan rahasia Allah yang harus kita jaga kerahasiaannya pula.
Semua kebaikan yang kita jalankan tidak serta merta menjadikan kemudahan dalam hidup kita, tapi malah justru sebaliknya, sekali kebaikan kita laksanakan akan datang ujian mengiringinya, begitu kita laksanakan lagi sau kebaikan,ujian yang yang makin beratpun menyertai, begitu terus menerus dan susul menyusul. Setiap orang punya masalah sendiri-sendiri, dan bisa dipastikan setiap orang akan merasa bahwa masalahnya yang paling berat, paling  rumit, dan paling sulit penyelesaiannya. 
Segala sesuatu adalah tergantung cara penerimaan kita, jadi cara penerimaan kita yang harus diubah, jangan terjebak pada fenomena yang nampaknya benar tapi sesungguhnya tidak mempunyai dasar keTuhanan yang kuat. Banyak hal disekitar kita adalah sesuatu yang bisa menyesatkan kita, semuanya seperti  fatamorgana di padang pasir. Dari kejauhan tampak ada harapan berupa tanah subur berikut sejumlah tanaman dan sumber air yang disebut oase. Ditengah padang pasir yang tandus dan tanpa arah yang jelas setiap khafilah pasti tergiur hendak mendatangi oase tersebut sekedar singgah untuk melepas lelah. Namun begitu dihampiri ternyata tidak ada apa-apa, melainkan tetap saja hanya gurun pasir yang luas. Itulah fatamorgana, sesuatu yang dianggap mampu menyesatkan kita melalui pandangan berdasarkan indra penglihatan.
Dalam hidup ini fatamorgana banyak berseliweran di sekitar kita, lantas bagaimana agar kita tidak tersesat atau terkecoh untuk memburunya?  Tetapkan hati, ada petunjuk disitu. Kata hati bisa kita jadikan bentuk persetujuan akan kebenaran apapun yang tertangkap oleh lima indera kita. Apa yang kita lihat belum tentu benar, apa yang kita dengarpun belum tentu benar, bahkan apa yang kita cium,kita  rasa dan bisa kita raba pun belum tentu benar, kecuali kata hati yang akan selalu membantu kita untuk meyakininya. Karena keyakinan tidak pernah salah, maka mulailah berlaku dan bertindak atas dasar keyakinan diri, karena itu tidak akan membuat kita terkecoh,atau salah jalan, apalagi tersesat.

No comments:

Post a Comment