Janji (fiksi)
Sebuah bungkusan barusaja aku terima dari seorang kurir pengantar barang, sebuah paket yang ditujukan untukku dari salah seorang sahabat penaku yang tinggal di ujung timur indonesia, Merauke.
sosok seorang pria sederhana yang bekerja sebagai guru ekonomi sekolah menengah negeri. Pembawaan dan bicaranya yang kukenal melalui surat-suratnya terkesan sangat sederhana, bahkan cenderung sangat pendiam karena hanya menulis sangat sedikit untukku, surat-suratnya sangat miskin kata-kata apalagi bila dibandingkan dengan seorang sahabat lain yang juga berada di kaki cartenz.
Aku lebih mengenal tanah Papua justru karena kepiawaiannya dalam melukiskan apa yang dilihatnya melalui tulisan yang selalu ditujukan untukku. Tentang hutan tropis yang rimbun, dan penduduk setempat. Ia tak pernah lepas dari camera Nikon yang selalu dikalungkan ke lehernya, dan selalu mengabadikan setiap moment yang dianggapnya menarik dan dikirimkannya kepadaku. Cuaca dingin yang nyaris membekukan saat ia berada di lereng Cartenz, begitu detail diuangkapkan dalam suratnya yang disertai dengan foto grafiti tulisan namaku di atas salju di puncak cartenz bersama dirinya yang dengan gagah berdiri memegang bendera. . Aku merasa tersanjung, ia menorehkan namaku di puncak tertinggi…Itulah kali pertama ia mencapai puncak cartenz, gunung bersalju yang hampir setiap hari dipandangnya sebagai suatu tantangan semenjak ia menginjakkan kaki di Papua. Saat cuaca tak berkabut, ia mampu memandang gunung itu dengan sejuta harapan untuk bisa menaklukkannya, beberapa kali rencana pendakiannya harus tertunda karena jadwal shift kerja yang berubah atau karena cuaca yang tidak memungkinkan
dua Sosok ini sangat kontras bila diperbandingkan, yang satu sederhana dan apa adanya dan yang satunya terkesan lebih kontemporer.
Penampilannya sangat standar tipikal seorang guru, selalu mengenakan stelan safari atau kemeja lengan panjang, dan bersepatu fantofel warna hitam. Kesederhanaan sangat dominan mewakili seluruh penampilannya,wajahnya sangat tidak ekspresif, selalu tampak datar, sulit diterka ia sedang senang, susah, marah atau sedih.
Pria sederhana yang usianya sudah hampir sepauh baya itu masih hidup melajang,
Surat-suratnya banyak menuturkan tentang perjalanan hidupnya selama ini yang sangat berliku dan terjal serta penuh keprihatinan, sehingga tampaknya seluruh penampilan dirinya adalah refleksi atas semua titik yang pernah dilaluinya.
Sebagai pria Jawa yang dilahirkan di tanah Jawa dengan kedua orang tua asli Jawa, keberadaannya di bumi Cendrawasih Merauke sekarang ini benar-benar tidak pernah terbayangkan olehnya. Masa kecilnya di Jogyakarta dilalui dengan sangat sederhana karena keluarganya terlalu miskin, sehingga lepas smep (sekolah menengah ekonomi pertama) ia mengikuti suatu program pelatihan kerja yang membuatnya kemudian dikirim dan tinggal di Makasar. Di sana ia bekerja sambil melanjutkan sekolahnya di salah satu SMA negeri di kota Mamiri.
Hidup sendiri di rantau membuatnya tak ada pilihan lain kecuali bekerja keras untuk mememnuhi kebutuhan dirinya,dan melanjutkan pendidikannya sampai d3.
Selesai pendidikannya di fakultas keguruan, ikatan dinas yang membuat dirinya ditugaskan ke Merauke. Itulah awal keberadaannya di bumi Cendrawasih.
Perlahan aku buka bungkusan paket yang ada di hadapanku dengan menggunakan cutter. Kemasan paket ini cukup besar tapi isinya tidak terlalu berat, dalam perkiraannku bisa kukatakan bahwa beratnya tidak sebanding dengan ukurannya, karena itu aku membukanya dengan sangat hati-hati.
Sebuah cangkang telur burung cendrawasih……menakjubkan. Aku sangat terkesan dan gembira luar biasa…tidak kuduga sama sekali aku akan mendapatkan sebuah bingkisan berisi barang langka yang bagiku sangat berharga. Dengan hati-hati kukeluarkan telur itu dari dalam dus yang dipenuhi dengan kertas-kertas penahan untuk melindungi telur supaya tidak pecah.
Ada bagian yang sedikit retak tapi tidak membuatnya benar-benar pecah, telur itu masih utuh berbentuk bulat lonjong seperti telur pada umumnya, warnanya agak kebiruan seperti telur beberk dengan bercak-bercak yang lebih kasar.
Sepintas cangkang telur ini utuh hanya hanya terdapat satu lubang kecil saja, aku tidak faham bagaimana mengeluarkan isinya yang kurang lebih setara dengan seputuh butir telur biasa atau mugkin lebih.
Didasar paket ada satu bungkusan lagi, isinya selembar kain polos berwarna kuning dengan panjang sekitar tiga meter kira-kira bisa untuk membuat satu stelan baju. Aku terkesiap, seperti ada sesuatu yang aneh, mengapa ia memberiku kain polos berwarna kuning? Tapi aku tidak buang waktu, secepatnya kubuka sampul surat yang menyertai bingkisan paket ini.
kukirim untukmu
sebutir telur burung cendrawasih
untuk mengingatkanmu bahwa ini dari tanah Papua
aku berharap kamu suka menerimanya
Dan selembar kain yang kukirim ini
berharap bisa kau kenakan
Aku akan datang untuk bertemu denganmu tidak lama lagi
Sampai ketemu
Aku terpaku, seperti ada perasaan aneh yang menjalar dalam tubuhku. Seperti ada sesuatu yang ingin ia pesankan padaku tapi tak terucap, seperti ada yang ingin ia goreskan utukku tapi tak tertulis.
Sebelumnya aku tak pernah memiliki perasaan seperti ini, aneh, masgul, tapi aku tak sanggup menterjemahkannya. Beberapa kali aku terima kiriman bari teman-temanku termasuk Hermaga yang mengiriku bongkahan kecil batu cebakan tembaga dan cebakan emas yang diambilnya dari lokasi tambang, tak membuatku merasa aneh. Juga saat aku menerima beberapa bongkahan batu kwarsa dan metamorf lainnya yang indah, tidak membuatku merasa masgul seperti sekarang ini.
- "sebaiknya cepat letakkan di meja telurnya, kalau dipegang terus nanti pecah"
Suara ibu mengejutkan aku. Aku agak tersipu karena kekagetanku. Kuletakkan telur itu di atas meja kerjaku di kamar, bersebelahan dengan tumpukan soal-soal ulangan yang belum selesai kuperiksa. Aku rebahan di tempat tidur tapi pandanganku tak pernah lepas dari telur itu, aku tidak faham mengapa telur ini begitu menyita perhatianku.
Kuperkirakan dibungkus dan dikirim sekurang-kurangnya seminggu yang lalu, karena perjalanan paket dari Papua ke kotaku memerlukan waktu tempuh sedikitnya seminggu. Mungkin bersamaan dengan tanggal keberangkatannya terbang ke Jawa, berarti sekarang ia sudah ada di tanah Jawa dengan radius yang makin dekat dengan ku. Jantungku berdegup lebih kencang dan makin tidak beraturan saat aku menyadari berarti setidaknya dalam beberapa hari ia akan datang ke rumahku dan bertemu denganku.
Jika pertemuan nanti membuat kami berdua sama-sama bisa menerima, ia akan langsung bertemu kedua orangtuaku untuk meminangku, dan segera membawaku pergi bersamanya karena ia hanya memiliki masa cuti dua minggu saja. Pak Rahman tidak dapat meninggalhkan sekolah berlama-lama. ia juga bukan orang yang bisa berlama lama meninggalkan murid-muridnya apalagi ia faham betul bahwa di sekolah tempatnya mengajar di Merauke tak ada guru lain yang mampu menggantikannya. Bukan saja sebagai guru ekonomi melainkan karena jabatannya sebagai wakil kepala sekolah bidang urusan kesiswaan,
Aku juga seorang guru sekolah menengah di kota ini, tak bisa kubayangkan bila akhir minggu depan aku sudah harus ikut bersamanya ke di ujung timur nantinya. Seseorang yang belum terlalu lama kukenal dan sangat sedikit pula yang telah diketahui tentangnya.
Sampai larut malam aku tak bisa memejamkan mata, ia sudah ada di tanah Jawa, mungkin besok atau lusa ia akan datang kemari, dan pada pertemuan yang singkat itu aku harus bisa membuat keputusan. Kuambil air wudlu dan aku sholat dua rakaat. Aku hanya bisa pasrah dan berserah pada Nya jika perjalananku memang harus demikian, semua kuserahkan pada kuasaNya. Aku tak mampu berbuat apa-apa, selain menunggu dalam kegelisahan.
Aku tidak berat hati bila harus pergi jauh meninggalkan keluarga besarku, aku pun tak segan untuk menjalani hidup di kota nun jauh di di ujung timur, aku hanya tidak mampu membayangkan bagaimana aku akan hidup dengan seseorang yang sungguh-sungguh belum kukenal.
Aku merasa lebih mengenalnya, bila sosok yang kutunggu adalah dia mungkin aku tak segelisah ini, aku mengenal pribadi dan wataknya, meskipun sama-sama kukenal hanya melalui tulisannya. Tapi aku menangkap kesungguh-sungguhan dalam setiap tulisannya yang panjang dalam setiap surat-suratnya. dia menulis lebih banyak untukku, semuanya selalu ditulis tangan. Dia sangat tidak suka membaca surat yang diketik, karena tulisan tangan mewakili perasaan, begitu katanya. Tanpa kusadari aku jadi merindukannya.
Tapi yang datang justru yang lugu dan sederhana. Yang menulis sangat sedikit untukku bahkan lebih menyerupai secarik memo dinas.
Tapi rencana pertemuan itu tidak pernah terlaksana, tak terwujud nyata karena kabar yang kuterima...beliaunya meninggal sesaat setelah tiba di tanah kelahirannya !! (1Jan 2013)