Sunday, December 1, 2013

Cara pandang


   Cara Pandang
Hal Yang paling utama membedakan antara seseorang dengan orang lainya adalah cara pandangnya. Tiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda, karena cara pandang seseorang sangat dipengaruhi oleh banyak hal, mulai dari latar belakang geografisnya (lokasi tempat tinggal), kehidupan sosial ekonomi,latar belakang sosial budaya, usia,jenis kelamin,tingkat pendidikan,pengalaman,pergaulan,  amalan agamanya,sampai kepekaan jiwa. Semuanya itu sangat kental mempengaruhi cara seseorang memandang sesuatu masalah, dan juga daya jangkau pandangannya. Ada orang yang hanya mampu memandang dengan jarak dekat,tapi ada juga yang mampu melihat dengan jarak jauh bahkan sangat jauh sampai lintas generasi,lintas peradaban,bahkan sampai lintas zaman.
Cara pandang yang disertai kearifan hati, akan menghindarkan kita terjebak pada sikap apriori yang dimiliki setiap orang secara umum, yakni merasa diri sendirilah yang paling benar,sedangkan yang lainnya salah. Sikap demikianlah yang dalam perkembangannya menumbuhkan ego atau rasa "ke-aku-an" yang kental, yang membuat seseorang seakan lupa bahwa ada kebenaran yang lain diluar dirinya.
Sangatlah kurang bijak bila kita mengukur cara pandang orang lain tentang kebenaran dengan menggunakan tolok ukur diri kita sendiri. Ada yang lebih baik lagi di luar diri kita,dan ada yang maha baik,maha benar,diatas semuanya.
Mengutip bahasa yang saya ambil dari Gardu Padhangbulan online,bahwa kebenaran bagaikan sebuah cermin yang diberikan oleh Allah, tapi cermin itu pecah berkeping-keping.  Siapapun yang menemukan/memegang sepotong dari kepingan itu akan dapat melihat ruh disana, saat itulah ia akan menganggap dirinya telah menemukan sebuah kebenaran sehingga yang lainnya salah total.  Kearifan membuat kita mampu 'melihat"bahwa mungkin ada seseorang lainnya yang juga menemukan/memagang kepingan lainnya, dan itu tidak pandang bulu. Tidak hanya umat muslim yang mendapatkan kepingan cermin itu, cermin yang pecah berserakan itu tersebar kemana-mana. Setiap manusia punya peluang yang sama untuk menemukannya, tak peduli ia muslim,nasrani,hindu,budha,bahkan mungkin seorang atheis sekalipun. Juga tak terbatas pada jaman sekarang,atau jaman lampau dimana peradaban manusia masih belum seperti sekarang ini.
Umumnya setiap orang yang merasa telah menemukan suatu kebenaran,ia ingin sesegera mungkin  menyampaikannya/mengkomunikasikannya  pada orang lain,baik melalui bahasa lisan,maupun bahasa tulisan,maupun bahasa perilaku dalam wujud keteladanan. Itulah yang secara turun-termurun dikomunikasikan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Itulah peradaban, itulah kebudayaan.
Sering aku berfikir tentang sesuatu dan ingin segera menuliskannya,karena kurasa itu sangat penting untuk kutuang dalam file tulisan. Tapi terlalu sering aku berada pada posisi yang kurang tepat untuk menuliskannya. Pikiranku lebih cepat berjalan bahkan berlari dalam dan sangat dalam dalam "memandang" sesuatu yang kupandang penting. Setelah beberapa point berkelebat dalam pikiran selama berhari-hari,berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, dan kurasa aku mulai bias menyiapkan diri untuk menuliskannya, saat itulah……aku lupa semuanya. Kadang bukan sekedar lupa, kalaupun aku ingat kembali pokok pikirannya, aku sudah tidak tertarik untuk menulisnya karena kurasa sudah tidak actual lagi.
Dalam kasus ini aku berfikir mungkin ada baiknya aku mulai menata dan memanage secara lebih serius pola pikir dan cara pikirku supaya dapat berbekas dalam bentuk file tulisan. Tapi masalahnya kadang tidak sesederhana itu. Kadang aku seperti kehilangan jati diri, dan tidak mampu menyusun prioritas.
Selama ini aku identik dengan bekerja. Melakukan pekerjaan yang disukai kuterjemahkan sebagai "bukan bekerja" melainkan sedang melakukan suatu "kesenangan". Inilah konsep yang kuterapkan dalam aku melakukan pekerjaan apapun. Pekerjaan yang dilakukan atas komando pribadi adalah kemewahan bagiku. Lebih menyenangkan menyusun suatu program atau rencana meski akhirnya harus dikerjakan sendiri, dengan begitu pekerjaan terasa lebih indah, dibandingkan melakukan pekerjaan yang hanya berdasarkan instruksi.
Bagiku bekerja atas dasar instruksi sangatlah "menyiksa" dan terasa "merendahkan". Tak heran bila ada orang yang lebih merasa bangga bila berhasil untuk tidak bekerja dengan alasan "merdeka" alias tidak berada di bawah perintah orang lain. Aku kurang sependapat…
Bagiku bekerja adalah menyatukan diri dengan irama hidup. Tak ada bedanya bekrja sendiri ataupun bekerja pada orang lain. Juga tak peduli merencanakan pekerjaan sendiri ataupun di bawah perintah orang lain. Semuanya tergantung irama bumi, ibarat musik adalah tergantung jenis lagu yang dimainkan dan instrument apa yang digunakan. Kita adalah instrument (alat musiknya) dan gerakan (baca: kerja)kita adalah suara yang ditimbulkannya. Gerakan yang teratur akan menimbulakn bunyi nada yang teratur,selaras,harmonis dan indah. Gerakan yang tidak teratur akan menimbulkan nada suara yang sebaliknya, tak beraturan, sumbang, dan kadang malah tak sedap didengar telinga.
Karena itulah bekerja dengan hati akan membuat kita menyatu dan mengalun seirama bumi, enak,nyaman,harmonis dan…indah.
Banyak orang terjebak pada slogan yang sangat dangkal bahwa bekerja hanyalah untuk mendapatkan upah, sehingga tinggi rendahnya upah dijadikan tolok ukur. Artinya seseorang hanya mau bekerja bila bayarannya sesuai baginya. Lantas bila bayaran yang diterima tidak sesuai dengan keinginannya dengan sendirinya kinerjannyapun tak lagi maksimal. Tidakkah yang demikian akan menjadikan irama bumi menjadi sumbang?
Dan bila seseorang mengukur pekerjaan dengan prinsip ekonomi, dengan sesedikit mungkin bekerja untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Semakin banyak uang semakin sedikit yang bias dilakukannya (karena pekerjaannya dapat dilimpahkan pada orang lain dengan imbalan tertentu/ mampu mempekerjakan orang lain) mereka memandang bekerja adalah suatu beban, siksaan, dan merasa semakin banyak ia limpahkan semakin tinggi derajatnya sebagai majikan? Sehingga terbentulah stempel bahwa orang yang bekerja maka derajatnya lebih rendah dari yang mempekerjakannya?
Apakah ada yang berfikir, bahwa semakin banyak pekerjaan yang dilimpahkan pada orang lain berarti semakin kecil perannya dalam membentuk irama bumi? Mengapa orang memandang bekerja adalah beban?, kutukan?siksaan?
Padahal bekerja adalah sesuatu yang mulia, dan indah bila kita mampu memahami dan menikmatinya.

No comments:

Post a Comment